Alegori

Leonardo
1 min readSep 24, 2020

--

Aku adalah aku.
Bukan binatang jalang seperti kata Chairil.
Sejenak lupakan “kita”;
atau keabadian, seperti kata Sapardi.
Aku mau:
aku, aku, aku.

Eksistensi adalah aku
dan aku adalah eksistensi.
Setan pun kuhabisi!
Tapi, tunggu, aku bisa menjadi setan itu; akulah dosa, darah, topeng, revolusi, cinta, kisah, hingga mimpi burukmu.
Namun akulah Tuhan-ku yang merangkai takdirku sendiri.

Setiap manusia telah melewati fase embrio.
Serta tak sedikit yang dibesarkan dengan ego.
Lalu kamu terus menari
sampai tak sadar
kalau "ia" telah merajai rohmu secara utuh
dan meracuni emosi hingga hilang pandang.

Tersesat.

Lalu berdoa untuk sebuah bisikan, demi terjaga di malam permenungan.
Dan di situ, aku mengetuk pintu relung hatimu.

Ruang-ruang itu bagaikan mimpi,
terjaga dalam setiap untaian doa dan cita-cita.
Tentang yang sudah kaku,
detik di mana kita memaku,
atau yang nanti akan jadi abu.

Setiap detik, ada yang harus pulang,
dan kamu tengah berjuang di dalam naungan Penciptamu,
demi setiap jiwa-jiwa yang binasa.
Lalu,
kamu bangkit, berkat dirimu.

Akhirnya,
Rasa yang akan membuahimu
untuk tetap hidup di dalam rahim eksistensi.
Dan kamu akan memeluk dirimu sendiri
pada setiap tarikan nafas yang memburu.

Lalu aku;
terus menjadi aku,
yang senantiasa menari.

22 Agustus 2020

ditulis untuk TEDxUniversitasBrawijaya 2020: RASA

--

--