Leonardo
3 min readApr 13, 2020

Bagi sebagian orang, saat mereka ditanya pertanyaan semacam: “Apa pengalaman paling berkesanmu?” kebanyakan dari mereka akan bercerita tentang kebahagiaan. Sedangkan menurut KBBI, arti berkesan adalah meninggalkan bekas. Mereka mungkin akan mengingat momen bahagia yang membekas di benak mereka. Namun setiap kali mendengar kata tersebut, aku memaknainya sebagai luka yang takkan pernah hilang.

Bagiku, kehilangan seseorang yang dicintai adalah kesan. Dapat dikatakan bahwa pengalaman-pengalaman itulah yang membentuk kita menjadi “kita” yang sekarang ini. Dan itu semua tidak akan sepenuhnya sembuh; the pain just moves into the background.

Aku kehilangan sosok adik yang lahir dengan kondisi apert syndrome, saat ia berumur lima bulan dan aku masih berumur lima tahun. Namanya Benedict.

Aku sama sekali belum mengerti konsep kematian saat itu. Namun pada akhirnya aku cukup mengerti saat melihat adikku terlihat putih pucat, dimasukkan ke dalam peti, dan dikuburkan.

Malamnya aku bermimpi, dia berkata, “sampai ketemu lagi, Bang,” lalu berlari ke arah cahaya putih. Disitu aku mengerti: aku tidak bisa melihatnya tumbuh dewasa.

Tiga laki-laki dalam keluarga kecilku; si bungsu sedang tertidur.

Juni 2017, aku dan keluarga mengantar Opung ke Penang untuk menjalani rangkaian pengobatan. Aku merasa sangat dekat dengannya.

Melihatnya tersenyum dan tertawa di tengah perjuangannya melawan kanker, itu cukup. Sisa-sisa waktu bersama beliau adalah salah satu momen paling membahagiakan dalam hidupku. Never came across my mind back then, but those bliss was temporary.

Akhirnya, November 2017, rasa sayangku kalah telak dengan kasih sayang Tuhan kepadanya. Aku pun mengerti rasanya diinjak-injak kehidupan. Cukup sampai hari itu aku melihat matanya. Kebahagiaanku mati suri.

Dua kehilanganku menciptakan kesan; luka yang luar biasa akan terasa di kali kedua. Namun, aku belajar untuk memaknai kehidupan ini secara lebih mendalam. Aku sadar, tidak ada yang sia-sia.

Bagaimana cara merespons duka? Hanya kita yang bisa menyeka air mata kita sendiri, yang tahu bagaimana kita harus menyikapi, dan menghadapi suka-duka kehidupan.

Pada akhirnya, kita yang akan menemukan makna kehidupan menurut versi kita masing-masing. Kalau aku memilih untuk sadar, jikalau setiap cerita membentur dan akan membentuk kita.

Amor Fati.

Amor fati sendiri merupakan konsepsi yang lahir dari pemikiran Friedrich Nietzsche. Ia yang menawarkan pemikirannya sebagai ide terkait penerimaan takdir secara utuh. Tanpa melepas moralitas atau pun menolak kesadaran diri sendiri.

Love of fate lets us see the bigger picture of our past, because we shall learn to love the fate; to accept. Hal ini menjadi relevan dengan segala duka yang kita hadapi. Secara tidak langsung, mungkin Nietzsche berbisik kepada kita: “amor fati,” agar kita tidak terlarut dalam nelangsa. Agar kita tidak ‘mati’ karena merespons duka.

For me, amor fati is a kind-of form of bravery and beauty at once. Dengan menganut konsep tersebut, kita bertumbuh di atas keberanian dan mencari keindahan dalam setiap takdir kita. Dan, Albert Camus pernah menulis dalam bukunya yang berjudul The Myth of Sisyphus, “a will to live without rejecting anything of life, which is the virtue I honour most in this world.

Hidup ini seakan-akan indah apabila memang mengacu pada konsep filsuf ateis itu. Berangkat dari amor fati pula, kita dituntut untuk berani dalam menghadapi segala konsekuensi absolut dalam hidup. Secara esensial, kematian adalah keniscayaan, sebagai salah satu konsekuensi yang mutlak.

And I, personally, believed that true beauty lies in imperfection. Dan aku menyadari, ketidaksempurnaan itu terangkum dalam 19 tahun aku hidup. Dua luka hebat dalam hidupku memang abadi, namun itulah keindahannya. Hidup adalah sebuah karya seni yang indah tentang cinta dan takdir.

Takdir adalah tentang kelahiran, perjuangan, kebahagiaan, ataupun kematian. Kehilangan yang dicintai adalah niscaya. Namun, pernahkah kita mencintai kehilangan itu?

Teruntuk siapapun yang sedang berada di ruang-ruang gelap itu; ingatlah bahwa dalam hidup kita tidak memiliki kontrol atas apa yang terjadi pada kita. Namun, kita sendiri yang dapat mengontrol apa yang kita rasakan dan perbuat setelahnya.

Cintai, cintai, dan cintai.

Aku masih belajar untuk mencintai ketidaksempurnaan dalam hidup.

Aku masih belajar untuk mencintai kehilangan, yang kucintai itu.

Aku masih belajar untuk mencintai takdir, dalam setiap langkah.

Pada akhirnya, kesedihanku yang paling mendalam itupun sedikit demi sedikit terobati, walaupun lukanya akan selamanya membekas di dalam jiwaku. Amor fati ialah tentang bagaimana kita tidak mengharapkan takdir atau nasib yang berbeda.

Aku takkan menentangnya. Aku mencintainya.